BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Salah
satu permasalahan pendidikan yang dihadapi sekolah pada umumnya adalah
kekerasan guru terhadap siswa yang masih sering terjadi dilingkungan sekolah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2006) di
beberapa daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang
terjadi pada siswa dilakukan oleh guru. Kita tahu bahwa sekolah merupakan
tempat siswa menimba ilmu pengetahuan dan seharusnya menjadi tempat yang aman
bagi siswa. Namun ternyata di beberapa sekolah terjadi kasus kekerasan pada
siswa oleh guru. Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa
seperti dilempar penghapus dan penggaris, dijemur di lapangan, dan dipukul. Di
samping itu siswa juga mengalami kekerasan psikis dalam bentuk bentakan dan
kata makian, Kasus-kasus kekerasan sangat berlawanan dari peran
seorang guru sebagai pendidik, pengajar, dan pembimbing. Kuriake mengatakan bahwa di Indonesia cukup banyak guru yang menilai cara
kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa (Phillip, 2007). Padahal cara
ini bisa menyebabkan trauma psikologis, atau siswa akan menyimpan dendam, makin
kebal terhadap hukuman, dan cenderung melampiaskan kemarahan dan agresi
terhadap siswa lain yang dianggap lemah. Lingkaran negatif ini jika terus
berputar bisa melanggengkan budaya kekerasan di masyarakat. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis akan membahas mengenai kekerasan pada siswa dan apa yang
harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang terkait.
B.
Rumusan
masalah
Adapaun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa kekerasan sering terjadi dalam
dunia pendidikan?
2. Bagaimana dampak kekerasan pada siswa?
3. Bagaimana cara mengatasi kekerasan dalam
dunia pendidikan?
C. Tujuan
Adapun tujuan pada makalah berikut adalah sebagai
berikut:
1. Mengidentifikasi
penyebab terjadinya kekerasan pada siswa oleh guru
2. Menguraikan dampak
kekerasan guru terhadap siswa
3. Menetapkan solusi
yang yang tepat untuk mengatasi kekerasan pada siswa
BAB II
PEMBAHASAN
A. TINJAUAN KEKERASAN DARI BERBAGAI LANDASAN
Kekerasan adalah tindakan yang tidak terpuji dan tentunya sangat
bertentangan dengan berbagai landasan dalam pendidikan. Berikut paparan
mengenai kekerasan bila ditinjau dari berbagai landasan pendidikan di
Indonesia:
· Tinjauan dari Landasan Hukum Pendidikan
Kekerasan dalam pendidikan sangat
bertentangan dengan:
1. pasal 3 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “fungsi
pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab”.
2. Tentang kekerasan fisik, pada
pasal 80 UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dinyatakan sebagai
berikut:
1). Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp
72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
2). Dalam hal anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
3). Dalam hal anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
4). Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang
melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.
Kemudian yang berkaitan dengan kekerasan seksual:
Pasal 82
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat
3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”
(UU Perlindungan Anak)
Selanjutnya secara khusus, undang-undang ini bahkan mengamanatkan bahwa
anak-anak wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh siapapun,
termasuk guru di sekolah.
Pasal 54
“Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam
sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.”
(UU Perlindungan Anak)
Jika melihat undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah sangat nyata bahwa
tindakan kekerasan terhadap anak merupakan tindakan kriminal yang pelakunya
akan diproses secara hukum. Tindakan kekerasan dengan bungkus pendidikan juga
dapat mengakibatkan pelaku dikenai tindak pidana, sebagaimana disebutkan dalam
pasal 80 UU. No. 23 tahun 2002.
·
Tinjauan dari Landasan Psikologi Pendidikan
Dampak yang timbul dari efek kekerasan adalah siswa menjadi pendiam atau
penyendiri, minder dan canggung dalam
bergaul, tidak mau sekolah, stres atau tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam
belajar, dan dalam beberapa kasus yang lebih parah dapat mengakibatkan bunuh
diri. Kekerasan yang dilakukan oleh guru sangat bertentangan dengan pendapat
Freedman (Pidarta, 2007:220) yang menyatakan bahwa guru harus mampu
membangkitkan kesan pertama yang positif dan tetap positif untuk hari-hari
berikutnya. Sikap dan perilaku guru sangat penting artinya bagi kemauan dan
semangat belajar anak-anak. Jadi, hukuman yang dilakukan oleh guru akan menjadi
kesan negatif yang berdampak negatif pula dalam proses belajar anak.
·
Tinjauan dari Landasan Sosial Budaya
Pada landasan sosial budaya, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan
hubungan antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok serta
mengembangkan nilai-nilai budaya Indonesia. Namun, hal tersebut hanya menjadi
wacana saat kekerasan terjadi dalam pendidikan. Siswa tidak dapat mengembangkan
hubungan yang baik antarindividu, individu dan kelompok dan antarkelompok
ketika “budaya senioritas” masih melekat di sekolah. Di sisi lain, terkikisnya
budaya bangsa yang dikenal dunia dengan sopan santunnya akibat maraknya tindak
kekerasan khususnya dalam dunia pendidikan.
B. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEKERASAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Penyebab kekerasan terhadap peserta didik bisa terjadi karena guru tidak
paham akan makna kekerasan dan akibat negatifnya. Guru mengira bahwa peserta
didik akan jera karena hukuman fisik. Seharusnya guru memperlakukan murid
sebagai subyek, yang memiliki individual differences (Eko
Indarwanto,2004). Kekerasan bisa terjadi karena pendidik sudah tidak atau
sangat kurang memiliki rasa kasih sayang terhadap murid, atau dahulu ia
sendiri diperlakukan dengan keras. Selain itu kekerasan oleh guru pada siswa
disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
·
Kurangnya pengetahuan guru bahwa kekerasan
itu tidak efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku,
·
Persepsi guru yang parsial dalam menilai
siswa. Misalnya, ketika siswa melanggar, bukan sebatas menangani, tapi mencari
tahu apa yang melandasi tindakan itu,
·
Adanya hambatan psikologis, sehingga dalam
mengelola masalah guru lebih sensitive dan reaktif,
·
Adanya tekanan kerja guru: target yang
harus dipenuhi oleh guru, seperti kurukulum, materi, prestasi yang harus
dicapai siswa, sementara kendala yang dihadapi cukup besar,
·
Pola yang dianut guru adalah mengedepankan
factor kepatuhan dan ketaatan pada siswa, mengajar satu arah (dari guru ke
murid),
·
Muatan kurikulum yang menekankan pada
kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan efektif, sehingga guru
dalam mengajar suasananya kering, stressful, tidak menarik, padahal mereka
dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi,
·
Tekanan ekonomi, pada gilirannya bisa
menjelma menjadi bentuk kepribadian yang tidak stabil,seperti berpikir pendek,
emosional, mudah goyah, ketika merealisasikan rencana-rencana yang sulit
diwujudkan.
C. SOLUSI MASALAH
Karena sekolah dan guru yang kurang tegas maka murid jadi bebas sehingga
tidak mengindahkan norma-norma dan peraturan yang ada. Misalnya murid akan
berpenampilan seenaknya sendiri seperti preman atau spg, bebas bolos sekolah
tanpa hukuman yang berat, bebas melakukan kenakalan di luar batas kewajaran,
meremehkan guru, dan lain sebagainya.
Oleh karena itulah maka diperlukan
peran pemerintah untuk membuat delapan standar pendidikan yang baik yang dapat
membuat murid takut dalam artian yang baik. Guru seharusnya boleh menghukum
siswa yang nakal dan tidak disiplin dengan sedikit kekerasan dan hukuman fisik
agar para siswa-siswi takut dan terpacu untuk belajar, patuh, taat, hormat,
disiplin, bertanggung jawab, tahu aturan, dan lain sebagainya.
Beberapa solusi yang diberikan untuk mengatasi kekerasan pada siswa di sekolah
diantaranyan adalah sebagai berikut:
a)
Menerapkan pendidikan tanpa kekerasan di
sekolah
b)
Mendorong/mengembangkan humaniasi
pendidikan;
- Menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran,
- Membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus,
- Suasana belajar yang meriah,gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, menjadi suatu kekuatan yang integral.
- Menyatupadukan kesadaran hati dan pikiran,
- Membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus,
- Suasana belajar yang meriah,gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, menjadi suatu kekuatan yang integral.
c)
Hukuman yang di berikan berkolerasi dengan
tindakan anak,
d)
Terus menerus membekali guru untuk
menambah wawasan pengetahuan, kesempatan, pengalaman baru untuk mengembangkan
kreativitas mereka.
e)
Konseling,Bukan siswa saja membutuhkan
konseling, tapi juga guru. Sebab guru juga mengalami masa sulit yang
membutuhkan dukungan, penguatan, atau bimbingan untuk menemukan jalan keluar
yang terbaik.
f)
Segera memberikan pertolongan bagi siapa
pun juga yang mengalami tindakan kekerasan di sekolah,dan menindak lanjuti
serta mencari solusi alternatif yang terbaik.
Ada 7 hal yang harus dipahami dan kemudian diterapkan oleh pendidik untuk
memperoleh kepercayaan anak didik agar mencapai maksud dari pendidikan itu,
tanpa harus menggunakan kekerasan.
1. Tindakan alternatif
Cara pendidikan tanpa kekerasan digambarkan sebagai sebuah cara ketiga atau
alternatif ketiga, setelah tindakan menyalahkan dan aksi kekerasan karena hal
itu. Seorang pendidik yang melihat kesalahan seorang siswa, mempunyai tiga
pilihan setelah itu, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan
untuk memaksa siswa memperbaiki kesalahan itu atau menggunakan cara ketiga yang
tanpa kekerasan. Menahan diri untuk tidak menyalahkan tentu bukan perkara mudah
bagi orang dewasa apabila melihat sebuah kesalahan dilakukan oleh anak di depan
matanya. Tapi perlu diingat bahwa sebuah tudingan bagaimanapun akan
berbuah balasan dari anak, karena secara insting dia akan mempertahankan
dirinya. Reaksi atas sikap anak yang membela diri inilah yang ditakutkan
akan berbuah kekerasan dari pendidik terhadap anak didik.
2. Keakraban penuh
keterbukaan
Keakraban maksudnya berbagi dengan orang lain dengan tidak membeda-bedakan
anak-anak didik, dan terbuka adalah tidak menutup-nutupi hal apa pun atau
mencoba mengambil keuntungan dari hal-hal yang tidak diketahui
siswa. Sebuah keakraban yang penuh keterbukaan hanya bisa terjalin apabila
adalah rasa persaudaraan kemanusiaan antara pihak pendidik dan siswa. Di dalam
keakraban ada kasih sayang, keramahan, sopan-santun, saling menghargai dan
menghormati. Sedang keterbukaan mengandung unsur kejujuran, kerelaan dan
menerima apa adanya. Keakraban yang terbuka ini ibarat pintu bagi masuknya
sebuah kepercayaan. Ketika anak didik sudah merasakan keakraban yang
terbuka dari gurunya, maka dia dengan senang akan mendengarkan apa pun yang
disampaikan oleh sang guru.
3. Komunikasi yang jujur
Penipuan adalah sesuatu yang sulit dipisahkan dari kekerasan, disebabkan
kurangnya rasa hormat kepada orang lain atau takut terhadap kenyataan.
Tindakan dengan kasih sayang didasarkan pada ukurannya dalam kebenarannya
setiap orang, yang tidak bisa memisahkan dirinya dari kebenaran dan kenyataan. Jadi,
untuk menjadi benar kepada diri sendiri, kita juga harus benar terhadap orang
lain. Sampaikan kepada anak didik kebenarannya, arahkan kemarahan kita
terhadap kesalahannya, bukan kepada orangnya. Temukan solusi dalam konflik
dan kesalahpahaman, dan itu tidak bisa dibangun apabila kita menggunakan
kebohongan dan penipuan.
4. Hormati Kebebasan dan Persamaan
Di dalam pendidikan tanpa kekerasan ini, kita semuanya bebas dan setara,
setiap orang mendengarkan suara nurani sendiri dan saling berbagi perhatian. Lalu
kemudian dengan bebas diputuskan, berdasarkan pada semua pertimbangan
individu-individu, bagaimana keinginan bersama ingin diwujudkan. Dengan
demikian kita harus mengenali dengan jelas kebebasan memilih dan hak yang sama
setiap orang untuk mengambil bagian dalam kegiatan itu. Yang lebih penting lagi
adalah kita menyadari persamaan semua manusia dan menghormati kebebasan anak
didik sama seperti kita menghendaki kebebasan kita sendiri dihormati.
Tindakan tanpa kekerasan bukanlah bentuk usaha untuk mengendalikan yang
lain atau penggunaan paksaan terhadap mereka. Jika kita mencintai anak
didik, kita menghormati otonomi mereka untuk membuat keputusan-keputusan mereka
sendiri. Kita pasti dapat berkomunikasi dengan mereka, dan kita bahkan dapat
menghadapi mereka dengan kehadiran kita untuk memaksa mereka tanpa kekerasan
untuk membuat sebuah pilihan, jika kita yakin mereka telah melakukan kesalahan.
Perbedaan yang penting adalah kita tidak memaksa mereka secara fisik atau
dengan kasar untuk mencapai apa yang kita inginkan.
5. Saling mempercayai secara penuh
Cara dengan kasih sayang didasarkan pada keyakinan bahwa jika kita
bertindak dengan cara yang baik tidak akan pernah merugikan bagi siapapun, dan
akan menghasilkan kebaikan juga. Alih-alih mengendalikan anak didik
dengan ancaman dan kekuasaan kita, lebih baik menggunakan kecerdasan
masing-masing pihak untuk memecahkan masalah dengan komunikasi yang baik dan
negosiasi.
Untuk mempercayai anak didik secara penuh kita harus melepaskan kepercayaan
itu dari kendali kita sendiri, dan membiarkan situasi memprosesnya. Tentu
saja melepaskan kepercayaan tidak berarti kita mempercayai dengan membabi buta.
Kita harus tetap memonitor apa yang terjadi dan memantau hasilnya secara
terus menerus.
6. Ketekunan dan kesabaran
Dalam pendidikan tanpa kekerasan, kesabaran adalah kebaikan yang bersifat
revolusioner. Kesabaran bukanlah sebuah pembiaran tanpa tindakan apa pun,
tetapi peningkatan kualitas dari sebuah pertolongan yang bertahan pada
tuntutannya, dan melanjutkannya dengan cara cerdas penuh ketenangan.
Ketika kita terperangkap dalam situasi konflik, emosi kita sering sangat
aktif dan bergolak. Kita harus hati-hati dengan reaksi tanpa pemikiran
atas apa yang sedang kita lakukan dan konsekuensi-konsekuensi yang mungkin
terjadi. Kesabaran memberikan kepada kita waktu untuk berpikir tentang
tindakan-tindakan kita agar terhindar dari kekerasan dan bertindak efektif.
Ketekunan juga berarti kita harus fleksibel di dalam strategi dan taktik
kita. Jika metodanya tidak berhasil, kita perlu mencoba cara lain. Jika
jalannya mendapatkan halangan, kita dapat beralih ke hal lain yang juga
memerlukan perhatian. Jika anak didik seperti kehilangan minatnya, kita
dapat dengan kreatif mencoba pendekatan baru terhadap permasalahan. Pendidikan
tanpa kekerasan harus dipenuhi kesabaran dan memaafkan dan di saat yang sama
gigih dalam membantu. Ketika anak didik mengakui bahwa mereka sudah
melakukan kesalahan, kita harus menunjukkan sifat pemaaf kepada mereka.
Sasaran terakhir dari pendidikan tanpa kekerasan bukanlah kemenangan atas
anak-anak didik kita tetapi menemukan sebuah kehidupan yang harmonis antara
pendidik sebagai orang tua, bersama-sama dengan anak didik dalam damai dan
keadilan.
BAB III
PENUTUP
v KESIMPULAN
Kekerasan dalam pendidikan sangat bertentangan dengan berbagai landasan
dalam pendidikan antara lain, landasan hukum, psikologi, sosial budaya dan
filsafat. Hal ini dapat dicegah apabila guru melaksanakan 7 prinsip pendidikan
tanpa kekerasan. Diharapkan dengan penegakan disiplin di semua unsur, tidak
terdengar lagi seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah atau
menampar. Dan diharapkan tidak ada lagi siswa yang melakukan tindakan kekerasan
terhadap temannyaPendidikan dengan kekerasan hanya akan melahirkan traumatis-traumatis
yang berujung pada pembalasan dendam, dan kita semua pasti tidak menghendaki
hal demikian terus berlanjut tanpa berkeputusan yang akan melahirkan
generasi-generasi penuh kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwariansyah. 2009. 7 Prinsip Pendidikan
TanpaKekerasan.
www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?ID=14997 diakses 28 Desember 2013
Hardianti. 2008. Kekerasan dalam Pendidikan.
NN. 2009. Menyikapi
Fenomena Kekerasan dalam Pendidikan.
http://www.tribunjabar.co.id/read/artikel/4781/menyikapi-fenomena-kekerasan-dalam-pendidikan
diakses 28 Desember 2013
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Yanuar,andy.2009. Digampar
Guru, Siswa Pamekasan Ngaku Telinganya Berdengung.
http://surabaya.detik.com/read/2009/12/15/141237/1260501/475/digampar-guru-siswa-pamekasan-ngaku-telinganya-berdengung diakses 28 Desember 2013
2 komentar:
terimakasih ...penjelasannya
global sevilla school
Posting Komentar